Rabu, 24 Oktober 2012

Kenangan dibalik "My Last Edelweis"

Ngomong-ngomong udah lumayan lama ya nggak ngepost di blog ini, duh kacian *pukpuk my blog*
Keseharianku sebagai anak SMA tiap hari bergelut dengan tugas dan ulangan makanya jadi jarang ngepost hiks...

Mungkin ada yang nanya, kenapa aku ganti nama blog ini jadi "My Last Edelweis"? Dibalik title baru blog ini aku bakal share kenangan yang nggak bakal bisa aku lupain. Munculnya rasa cintaku ke bunga bernama Edelweis yang buatku adalah bunga yang menjadi saksi bisu sebuah kisah dimasa lalu...

Aku inget banget, saat itu tahun 2007 pas masih kelas 5 SD. Papa ngajak aku pergi ke Gunung Bromo bareng sama temen-temen kantornya. Papa dan teman-temannya mengendarai sepeda motor sedangkan aku dinaikan keatas pick-up bersama seorang anak laki-laki yang umurnya diatasku. Mungkin saat itu dia sudah SMP.

Diperjalanan, kami berdua nggak saling bertegur-sapa sama sekali. Dia sangat suka melihat pemandangan disekitar padahal sendari tadi aku sudah memperhatikannya. Dalam hati aku bertanya-tanya siapa nama anak itu? Kenapa dia begitu membosankan?.

Kami tiba di Bromo sekitar pukul setengah lima sore. Disana sudah tertutup kabut dan udara dingin sudah mulai menusuk tulang. Akhirnya Papa dan teman-temannya memilih untuk check in ke penginapan terlebih dahulu. Lokasi penginapan kami berada didekat pemukiman penduduk sekitar. Dan aku sangat ingat pemandangan dari penginapan tersebut sangat indah : dari atas sana dapat terlihat lautan pasir yang terbentang luas dan kawah Bromo yang selalu mengepul.

Aku memang nggak pernah bersahabat dengan udara dingin, gigiku selalu bergemeletukan dan tubuhku menggigil kedinginan. Sudah berapa lapis jaket kupakai tapi udara dingin masih mampu menyentuhku. Sampai Papa melepas selimut yang ada diranjang untuk menyelimuti tubuhku.

Papa dan teman-temannya sedang membakar jagung dan ikan di halaman penginapan. Aku ikut membantu Ibu-ibu yang mengolesi bumbu pada jagung dan ikan itu. Daritadi sudah ku edarkan pandanganku kesekitar mencari sosok anak laki-laki tadi. Kenapa dia nggak ada?. Ku bulatkan tekadku untuk mencarinya, kasihan bukan kalau dia sampai kehabisan jagung bakar?. Aku meletakkan dua buah jagung bakar ke piring plastik.
"Om, anaknya tadi kemana? Kasian nanti kalau kehabisan jagung bakar"kataku kepada seorang bapak berkacamata yang sedang bergurau dengan Papa.
"Emang anak itu suka menyendiri, tuh dia lagi duduk disitu"jawabnya sambil menunjuk kesebuah bangku kayu yang menghadap ke lautan pasir. Anak laki-laki itu ada disana sambil menggenggam sesuatu. Kuhampiri dia sebelum jagung bakar yang kubawa keburu dingin.

Tanpa sepatah kata pun kusodorkan piring plastik berisi jagung bakar itu padanya. "Makasih"ucapnya sambil mengambil satu.
"Nggak dingin, mas?"tanyaku. Dia menggelengkan kepalanya.
"Dek, tau nggak ini bunga apa?"anak itu memperlihatkan bunga yang ada ditangannya. Sebuah bunga yang nggak seperti bunga pada umumnya tapi baunya cukup khas. Saat itu aku belum mengerti bahwa itu adalah bunga Edelweis.

"..Ini namanya bunga Edelweis. Orang-orang sering menyebutnya bunga abadi karena nggak akan mati meskipun kamu bawa pulang kerumah dengan cuaca yang berbeda jauh seperti disini. Bunga ini tumbuh di daerah yang nggak mudah dijangkau disini, untuk mendapatkannya membutuhkan pengorbanan. Tapi kamu tau nggak? Hasil yang didapat oleh orang yang mencari bunga ini nggak sebanding dengan pengorbanan mereka, bunga ini dijual sangat murah"

Nggak tahu kenapa, mataku nggak bisa berpaling memandangi bunga yang ada ditangannya. "Yaudah, nih buat kamu. Jaga baik-baik ya, dek"anak itu memberikan Edelweis itu padaku. Setelah itu dia bangkit sambil memakan jagung bakarnya meninggalkanku sendiri disana. Aku tersenyum.

Kalian tahu, guys? Dua minggu setelah pulang dari Bromo, Papaku mendapat kabar bahwa anak laki-laki itu meninggal dunia. Ternyata dia mengidap sebuah penyakit yang menggerogoti tubuhnya sejak lama. Bapak anak laki-laki itu menghiburnya dengan mengajak dia pergi ke Bromo supaya sejenak dia mampu melupakan penyakit yang dideritanya.

Sejak saat itulah aku jadi sangat suka pada Edelweis. Karena Edelweis mengajarkan aku tentang arti sebuah keabadian. Dan Edelweis pemberian almarhum kakak itu masih kusimpan diruang tamu rumahku sampai sekarang :')



In memoriam Kak R.


1 komentar:

  1. Oh my... it's so sweet.
    Keren juga ya bisa bernostalgia sama seikat bunga edelweiss.

    BalasHapus